short message

apabila kamu ingin mengenal dunia,maka membacalah..
namun jika kamu ingin dikenal dunia,maka menulislah...

Jumat, 13 Januari 2012

ijtihad



A.    Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari bahasa arab yaitu “Jahada” yang mempunyai arti mencurahkan segala kemampuan untuk mendapatkan sesuatu(yang sulit),dan dalam praktek agamanya berarti ijtihad di gunakan pada masalah yang sulit di cari hukum dalam syari.[1]
Dan ulama ada yang menafsiri yang dinamakan ijtihad adalah “Al-Mubalaghah fi al yamin”yang memiliki arti berlebih lebih dalam bersumpah. Dengan demikian arti ijtihad adalah pengerahan segala kesangupan dan kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.
Dalam mengartikan kata ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainya saling berbeda pendapat salah satunya ibrahim husen beliau mengenai makna ijtihad beliau mengidentikan antara kata istinbat sedangkan arti istinbat sendiri yaitu mengeluarkan sesuatu dari persembunyianya.
Adapun ijtihad dalam terminologi ahli fiqih adalah pencurahan seseorang atas totalitas kemampuan dan tenaganya untuk memperoleh hukum syariat yang peraktis dengan cara menggalinya (istinbat)  dari dalil-dalil shar’iy. makna terminologis yang demikian merupakan tema pembicaraan kami disini.sedangkan mujtahid adalah seseorang yang diberi kemampuan akal yang cermelang sehinga dengan modal tersebut ,ia mampu menggeluarkan hukum syari’ah yang peraktis dari dalil-dalilnya yang terperinci.kemampuan demikian tidak akan di peroleh kecuali orang-orang yang memenuhi kerteria ijtihad yang akan di bicarakan pada bab berikutnya.[2]




B.Ruang Lingkup Ijthad
Apabila peristiwa yang hendak ditetapkan hukumnya itu telah ditunjuk oleh dalil sharih yang (qath’iyul wurud) pasti datangnya dari syari”dan (qath’iyud) pasti penunjuknya kepada makna tertentu ,maka tidak ada jalan untuk di ijtihatkan,sebab selama nash itu qath’iyul wurud,[3] maka kepastian dan kehadirannya dalil-dalil itu dari sisi Allah atau Rasulnya bukan lagi menjadi ajang pembahasan dan berijtihad dalalah  makna dan ketetapan hukumnya.Misalnya firman Allah :
èpuÏR#¨9$# ÎT#¨9$#ur (#rà$Î#ô_$$sù ¨@ä. 7Ïnºur $yJåk÷]ÏiB sps($ÏB ;ot$ù#y_ ( Ÿwur /ä.õè{ù's? $yJÍkÍ5 ×psùù&u Îû ÈûïÏŠ «!$# bÎ) ÷LäêZä. tbqãZÏB÷sè? «!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# ( ôpkôuŠø9ur $yJåku5#xtã ×pxÿͬ!$sÛ z`ÏiB tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇËÈ  
Artinya :
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.
Maka jumlah hukum jilidnya yang seratus kali itu tidak dapat dijihatkan lagi.[4]
Adapun ruang lingkup ijtihad diperkenankan terhadap teks-teks (nas-nas)yang memiliki kerelatifan ketetapan (zanni al thubut) seperti sebagaian hadits-hadits nabi yang oleh kalangan ahli hadits tertentu di perbincangkan mengenai sanad dan matanya dari segi apakah bisa di sebut hadtis sahih,hasan,atau da’if atau kasjian-kajian lainya yang berhubungan dengan al-sunnah al-nabawiyah. Di samping itu ijtihad juga di perkenankan terhadap nas-nas yang mengandung kerelatifan dalil (zannial-dilalah) seperti sebagian ayat-ayat al-qur’an dan

hadits-hadits nabi yang dalam memahaminya terdapat beraneka ragam, pendapat sesuai tingkat pemahaman terhadap susunan bahasa atau dalil-dalil shar’iy[5]
Contoh : dalam firman Allah
$pkšr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sŒÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù öNä3ydqã_ãr öNä3tƒÏ÷ƒr&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4 bÎ)ur öNçGZä. $Y6ãZã_ (#r㍣g©Û$$sù 4 bÎ)ur NçGYä. #ÓyÌó£D ÷rr& 4n?tã @xÿy ÷rr& uä!%y` Ótnr& Nä3YÏiB z`ÏiB ÅÝͬ!$tóø9$# ÷rr& ãMçGó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$# öNn=sù (#rßÅgrB [ä!$tB (#qßJ£JutFsù #YÏè|¹ $Y6ÍhŠsÛ (#qßs|¡øB$$sù öNà6Ïdqã_âqÎ/ Nä3ƒÏ÷ƒr&ur çm÷YÏiB 4 $tB ߃̍ムª!$# Ÿ@yèôfuŠÏ9 Nà6øn=tæ ô`ÏiB 8ltym `Å3»s9ur ߃̍ムöNä.tÎdgsÜãŠÏ9 §NÏGãŠÏ9ur ¼çmtGyJ÷èÏR öNä3øn=tæ öNà6¯=yès9 šcrãä3ô±n@ ÇÏÈ                    
Yang artinya :

                Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[403] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[404] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur..
Setiap muslim mengakui dan percaya bahwa ayat ini berasal dari Al-Qur”an yang berarti qat’iy al-thubut.Perbedaan pendapat mulai muncul ketika seseorang memahami sebagaian lafadz ayat tersebut dan rangkaina katanya.Misalnya terhadap kata وامسخوا برؤسكم “. Para ahli fiqih bersepakat bahwa ‘Mengusap kepala’ merupakan bagian sdari rukun wudhu (bersuci dari khadats kecil),sebagai mana dalil yang di tunjukkan secara eksplisit(mantuq) oleh rangkain kata ayat tersebut.hanya saja kemudian fuqaha’ berbeda pendapat dalam menentukan kadar atau batasan ‘mengusap ini’.
                        Kelompok pertama berpendapat bahwa ‘mengusap’yang di maksud dalam ayat tersebut adalah ‘mengusap seluruh bagian wajah dengan pemahaman bahwa huruf (ba’) dalam rangkaian kata ayat tersebut adalah “sillah (kata penghubung)sehinga kira makna dalam ayat tersebut adalah “ومسخوا برؤاسكم[6]
Kelompok kedua berpendapat bahwa tidak menentukan batas ‘mengusap’dengan batasan tertentu, sedang sebagian lainya membatasi dengan seperempat kepala .Masing-masing kelompok mempunyai argumen sendiri-sendiri sebagai mana telah di jabarkan dalam kitab fiqih
Alhasil ijitihat itu berlaku pada nas-nas yang(zanniy al-thubut) kerelatifan ketetapan dan (zanniy al-dilalah) kerelatifan dalil.adapun nas-nas yang memiliki kepastian ketetapan dan dalil (qat’iy al-thubut wa al-dilalah) maka di dalam nya tidak adaruang ijtihat.
Ali Hasab Allah berkata :”ruang lingkup yang lebih luas dari  ijtihad adalah sesuatu yang belum diekplisitkan hukumnya dalam Al-Qur’an maupun al-sunnah sehinggap masuklah dalam ruang lingkup ijtihad tersebut nas-nas Al-Qur’an dan Al-sunnah  yang zanniy al-wurud dan zanniy al-dilalah.  Apabolah nas tersebut zanniy al-thubut maka obyeknya adalah terletak pada sanad dan sejauh mana kesesuaian dalam menetapkan hukum.namun jikan nas tersebut zanniy al-diallah maka obyek kajiannya terdapat pada penafsiran,ketentuan makna yang di tunjukkeselamatan dari pertentangan serta ke khususan da ke umuman dari nas  tersebut.[7]




C.Syarat-syarat Ijtihad
Di antara syarat-syarat ijtihad adalah :
1.      Menguasai Ilmu Bahasa Arab dari segi bahasa ,nahwu,sarf,balaghah,mantek dll.)dengan pemahaman di luar kepala ,agar bisa membedakan lafad yang khash  dengan yang ‘am,yang haqiqat dengan yang majaz, yang mutasyabbih dengan yang muhkam dll.hal itu sangat di perlukan karena untuk memahami dan di jadikan dasar pengambilannya yaitu dari Al-Qur’an dan Al-hadits yangberbahasa Arab  itu dan ia harus bisa memahamkannya sebagaimana pemahaman orang yang berbahasa arab[8].
2.      Mengetahui  nash-nash Al-Hadits ,yakni menggetahui hukum syari’at  yang di datangkan oleh Al-Hadits yang mampu mengeluarkan(istimbat) hukum perbuatan orang mukallaf dari padanya .Disamping itu  ia harus mengetahui keadaan perawinya ,mana yang tsiqoh (terpercaya) hingga dapat di gunakan hujah khadits yang telah di nukil oleh dewan-dewan khadits.tetapi cukuplah jika ia sanggup menghimpun khadits-khadits yang berkaitan dengan masalah tertentu,seperti khadits yang berhubungan dengan bidang mu’amalat,ibadat dan munakahat dan jinayat dan tidak perlu untuk menghafal hadits secara keseluruan karena itu akan dirasa sulit dan memberatkan cukup penelaahan dalam khadits untuk menemukan khadits sahih yang di kehendaki untuk melakukan (istimbat) hukum.
3.      Mengetahui qiyas dari segi sayrat-saratnya ,rukun-rukunya, pembagianya, jalan menggetahui ilat dan pertentangan-pertentangan yang ada di dalamnya
Karena hal ini merupakan sumber atau akal dari ijtihad .dari sinilah, fiqih yang harus di pakai dalam beberapa masalah fiqih [9]
4.      Menggetahui hal-ikhwal yang menjadi keapsahan suatu dalil seperti sayrat, batasan setematika dan tata urutanya
5.      Menggetahui sumber-sumber terjadinya konsensus ulama (ijma’) sehingga seseorang tidak sampai berfatwa menyalahi ijma’ tersebut.(sebagaimana hal ini merupakan pendapat para ahli ushul fiqih).
Menurut kami ,syarat ini berlaku dalam persoalan –persoalan yang telah di ketahui oleh para mujtahid awal,dan telah di beri keputusan hukumnya,serta

kemudian di sepakati oleh mereka.jika demikian ,maka para ulama yang datang kemudian tidakboleh memutuskan hukum yang menyalahi keputusan
hukum yang telah di sepakati para ulama’ tersebut, karena bertentangan dengan konsensus yang ada .adapun persoalan-persoalan yang belum terjadi pada era mujtahid awal dan ingin di ketahui hukumnya melalui ijtihad,maka sarat ini tidak di perlukan,kecuali apabila persoalan baru tersebut memiliki keserupaan alasan atau (‘illat)hukum dengan fenomena yang lama sedang maksud dilakukanya ijtihad adalah untuk merubah hukum dari persoalan lama ke persoalanbaru maka dalam konteks yang demikian sarat menggetahui ijma’ tersebut mutlak diperlukan oleh mujtahid sebelum melakukan istimbaat hukum.
6.      Mengerti tentang ‘nasikih dan mansukh dalam al-qur’an maupun al-sunnah  agar tidak sampai menghukum sesuatu dengan dalil mansukh yang telah di tingalkan .
7.      Mengetahui kendisi perawi hadis dari segi kuat dan lemahnya,serta dapat membedakan hadis yang sahih dari yang da’if dan hadis yang maqbul  dari yang  mardud.
8.      Mengetahui maqashidus –syari’ah tingkah laku dan adat kebiasaan manusia yang mengandung maslhat dan kemadharatan dan sanggup menggetahui ‘illat hukum serta biasa menganalogi peristiwa dengan peristiwa yang lain.hal ini diperlukan agar ia mampu memahami peristiwa-peristiwa yang akhirnya menetapkan Hukumnya sesuai dengan maqashidus-syari’ah dan kemaslahatan umum.[10]
D.Hukum ijtihad
Hukum yang nampak bagi kita adalah bahwa hukum ijtihad itu adakalanya wajib  secara individual (ayniyah),waji secara kolektif (kifaiyah),di anjurkan (mandub)dan ada kalanya haram.ijtihat akan dihukumi wajib apabila seorang mujtahid menghendaki istimbat hukum untuk dirinya sendiri sehingga ia memperoleh ketentraman hati untuk mencari ridho Allah.atau ketika di tanyai tentang hukum dari masalah agama yang mengharuskan orang tersebut berijtihad dan di sana tidak adamujtahid yang mampu menerangkan hukum masalah tersebut kecuali dirinya.maka apabila masalah tersebut mendesak untuk di pecahkan ,ia berkewajiban untukmelakukan ijtihad dengan segera.tapi apabila masalah tersebut tidak mendesak untuk di pecahkan maka kewajiban ijtihatnya bisa berlahan-lahan.
Ijtihat akan menjadi kolektitif (kifaiyah)ketika seorang mujtahid telah menemukan mujtahid lain yang berijtihat,dan masalah yang hendak di pecahkan tidak kuatir lenyap .Dalam kondisi demikian,spsbila ada seorang mujtahid yang sudah melakukan ijtihat maka kewajiban mujtahid lain gugur ,namun apabila tidak ada seorang pun yang melakukanya maka semuanya berdosa karena keteledoranya dalam hukum syariat dalam masalah yang memerlukan penjelasan hukum untuk menjaga kemaslahatan manusia.
Hukum ijtihat menjadi sunnah apabila ijtihad  tersebut di lakukan untuk merangkan kasus atau fenomena yang akan terjadi kemudian dalam kenyataan masih belum terjadi kemudian dan dalam kenyataan masih belum terjadi .
Hukum ijtihat yang haram adalah ijtihad yang dilakukan dalam masalah-masalah  yang telah ditetapkan agama secara pasti  yang tidak ada ruang untuk melakukan ijtihad pada hal tersebut,atau ijtihat untuk membandingkan dalil yang sudah pasti dengan nas dan ijma’.





E . MACAM-MACAM MUJTAHID
Dilihat dari luas atau sempitnya cakupan bidang ilmu yang di ijtihatkan Mujtahid itu terbagi dalam empat [11]tingkat :
1.      Mujtahid fisy-syar’i
yaitu orang-orang yang berkemampuan mengijtihadkan seluruh masalah  dan syariat tersebut hasilnya di ikuti dan di jadikan pedoman oleh orang yang tidak sangup berijtihad. Oleh karena ijtihad yang mereka lakukan itu semata-mata hasil usahanya sendiri tanpa mencakok dari orang lain seperti : Imam abu hanifah, lah Imam maliki ,Imam syafi’i,Imam hambal dll.
2.      Mujtahid fil-madzhab
ialah mujtahid yang hasil ijtihatnya tidak sampai membentuk madhab sendiri tetapi mereka cukup mengikuti seorang dari madhab seperti Imam abu yusuf dan Muhammad ibnu hasan adalah  mujtahid fill Madhab hanafi dan imam Al-Muzani.
3.      Mujtahid fil-masa’il
 ialah Mujtahid yang mengarah ijtihadnya kepada masalah tertentu dari suatu madhab bukan dari dasar pokok yang bersifat umum.seperti: Imam al-Ghazali mujtahid kepada Imam syafi”i
4.      Mujtahid muqoyyad
ialah mujtahid yang mengigatkan diri dan menganut pendapat ulama” salaf dengan mengetahui sumber-sumbernya dan dalalah-dalalahnya.seperti:Al-karakhi mujtahid pada madhab hanafi.





PENUTUP
A.           Kesimpulan
Setelah penulis menguraikan beberapa materi mengenai pengertian dan ruang lingkup serta sart-saratnya, akhirnya penulis menyimpulkan:
Bahwasanya  Ijtihat itu boleh dilakukan apabila  pada nas-nas yang memiliki kerelatifan dan ketetapan (zanni al-thubut) atau pada (zanni al-dilalah) yang mana sebagai ayat-ayatnya  yang ada dalam Al-Qur’an atau dalam hadits-hadits nabi yang mana dalam memahaminya akan menimbulkan beraneka ragam pendapat sesuai tingkatan pemahaman terhadap susunan bahasa atau dalil-dalil shar’iy. adapun hukum ijtihat itu ada empat seperti yang telah di jelaskan di atas ada yang wajib ,sunah,fardu kifayah ,haram.
Adapun seorang Mujtahid dalam melakukan ijtihat harus bisa menguasai  memahami ,khadits,Al-Qur’an, dan harus bisa memahami kosakata bahasa arab yang sekiranya dapat membedakan mana pembicara yang sarih,dahir,mujmal,mufassal,am’,khas,haqiqi,mujazi dll.











DAFTAR PUSTAKA

Aifi,Miftahul .Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Citra Media, 1997.
Tantaw. Muhammad Sayyid i,Ijtihad dan Teologi Keselarasan,Surabaya :jp BOKKS,2004
MKD IAIN SA, Ilmu Kalam, (Surabaya, IAIN SA Press, 2011)


[1] MKD IAIN Sunan Ampel, pengantar  sudi islamt, (Surabaya, IAIN SA Press, 2011), hal.56
[2] Ibid,hal 57
[3],Ijtihad dan Teologi Keselarasan,Surabaya :jp BOKKS,2004 hal,4
[4] MKD IAIN Sunan Ampel, pengantar  sudi islamt, (Surabaya, IAIN SA Press, 2011), hal.60
[5]. Drs.Miftahul Aifin,Drs.H.A. faisal Hag,Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Citra Media, 1997

6 Ijtihad dan Teologi Keselarasan,Surabaya :jp BOKKS,2004 hal,10
[7] Ibid,hal 11
[8] MKD IAIN Sunan Ampel, pengantar  sudi islamt, (Surabaya, IAIN SA Press, 2011), hal.61

[9] Ibid
[10] Ibid, hal,63
[11] Ijtihad dan Teologi Keselarasan,Surabaya :jp BOKKS,2004 hal,11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar